Sunday, 16 December 2012

Cerita Pendek: Di Balik Senyum Bunda


“AAA!”

Keringat membasahi sekujur tubuhku, mimpi malam ini benar-benar menyiksaku. Sebenarnya sudah lama aku mengalami semua mimpi ini. Mimpi ini seperti sebuah misteri yang meminta untuk dipecahkan. Di dalamnya, aku melihat seorang anak kecil, tapi aku tidak tau siapa dia, wajahnya pun tidak terlihat jelas. Dan kecelakaan itu, aku terbangun tepat sebelum sebuah mobil menghantam anak kecil itu. Siapa dia? Siapa anak kecil itu?

“Astagfirullah....”

Aku melihat ke samping ranjang ku, terlihat di sana Vera –kembaranku- tertidur dengan lelapnya. Jam menunjukkan pukul 02:05, aku menuju ke kamar mandi yang memang terletak di kamar kami. Ku basuh wajah ku dengan air wudhu, lalu melakukan beberapa rakaat shalat malam yang memang aku sering lakukan ketika terbangun seperti ini.

Setelah shalat aku pun memutuskan untuk mengambil segelas air untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering. Saat melewati kamar Bunda, aku melihat pintu kamarnya sedikit terbuka. Aku dekati pintunya, dari balik pintu aku bisa melihat Bunda bertahajud.

Bunda, beliau adalah orang terpenting di hidupku, semenjak kepergian Ayah 10 tahun silam, Bunda lah yang melakukan semuanya untuk kehidupan kami bertiga. Ya, Bunda memang tidak sesempurna aku dan Vera, beliau hanya memiliki satu mata pada tubuh bagian kanannya. Tapi, aku teramat bersyukur, karena Bunda sama seperti orangtua yang lainnya. Beliau dapat memberikan kami kebahagiaan, menyayangi kami, dan juga memiliki hati yang lembut bagai sutra.

Paginya, seperti biasa, aku bergegas bersiap untuk sekolah, saat keluar kamar Bunda sudah terlihat berbenah di meja makan.

“Assalamu’alaikum, Bunda,” salamku sembari memeluknya.
“Wa’alaikum salam,” balas bunda balik memelukku dan mendaratkan sebuah kecupan di keningku.
“Vera belum siap?”
“Belum, Bun, gak tau tuh lama banget pake kerudungnya,”
“Ya, udah, kamu makan dulu, biar Bunda bantu dia,”

Aku mengangguk, perlahan Bunda menjauh menuju kamarku dan Vera.

”Udah lah, Bun, gak usah. Aku bisa sendiri kok,”

Aku tersentak mendengar suara Vera. Aku meninggal makanan yang hendak aku makan dan menuju kamar.

“Udah, ya, Bun, Vera bukan anak kecil lagi!” ucapnya lagi masih dengan nada yang tinggi.
“Iya, Bunda tau, maafkan Bunda ya,” balas Bunda masih dengan senyumnya yang cantik sembari membelai kepala anak sulungnya. Tetapi lagi-lagi Vera tidak menyukainya, dan menepis tangan Bunda.
“Ver, kasar banget sih sama Bunda. Kalo gak suka ya udah, tapi gak usah kayak gitu,” aku pun akhirnya turut membuka suara.
“Apaan sih, gak usah ikut-ikutan deh, udah ayo cepet makan! Nanti telat,” ajaknya sembari menarik lengan kiriku.

Alhamdulillah, pukul 06:27 kami sudah sampai di sekolah. Sekolah kami bukanlah sebuah sekolah islam, melainkan sekolah umum negeri. SMA Negeri 46 Jakarta. Belum genap setahun kami bersekolah di sini, karena kami memang masih duduk di tingkat pertama.

Kami menelusuri lorong menuju kelas X.3 yang berada di ujung. Bel pun berbunyi, tepat setelah kami memasuki kelas.

“Heh, lihat tuh ada si kembar mata satu!”

Deg, aku tersentak. Lagi-lagi hal ini terjadi. Aku tidak suka kalau sudah berada di posisi seperti ini. Aku mengambil duduk yang tidak begitu dekat dengan Vera, karena guru-guru yang menginginkannya. Katanya agar lebih mudah untuk mengenali kami.

Anak-anak nakal itu masih terus berceloteh, mungkin menunggu reaksi Vera yang biasanya sering menanggapi setiap omongan  mereka. Dan benar saja...

“Udah deh, lo! Bawel banget sih! Gak bisa ya ngeliat orang tenang!”

Vera membuka suaranya, dan perang mulut pun terjadi. Tak ada yang bisa aku lakukan. Hal ini mulai terjadi semenjak kami bersekolah di sini. Padahal sewaktu berada di sekolah menengah dulu, kami tidak pernah sekalipun mengalami hal seperti ini. Mungkin, karena dulu sekolah kami adalah sekolah islam yang semua muridnya adalah perempuan.

Sikap Vera terhadap Bunda pun terlihat berubah, dia sering berlaku tidak sopan dan kasar kepada Bunda. Entah apa yang membuatnya seperti ini. Tapi dengan sabar Bunda menghadapinya, Bunda selalu tersenyum menanggapi setiap tingkahnya.

Hari demi hari perilaku anak-anak yang sering mengejek Bunda kami itu semakin kelewatan. Mereka bahkan berani mengatakan hal-hal yang tidak sopan di depan Bunda. Vera, perilakunya akhir-akhir ini pun semakin kasar kepada Bunda, bahkan tidak hanya perilakunya, lisannya pun demikian.

Pada suatu malam, aku terduduk di meja belajarku, melihat tumpukan buku yang terpampang tidak beraturan. Menjadi anak sekolah menengah atas memang melelahkan, au harus mulai merelakan waktu istirahatku unuk mengerjakan semua ini. Kamar yang tergolong besar ini terasa sepi karena salah satu penghuninya sedang tidak berada di tempat. Ukuran kamar ini memang sengaja dibuat oleh almarhum Ayah dengan ukuran 2 kali kamar normal. Karena tau nantinya kami lah yang akan menempatinya.

Aku keluar kamar untuk mencari kegiatan lain, setidaknya aku bisa terlepas sejenak dari semua tugas-tugas itu. Aku berjalan menuju kamar Bunda, kali ini kamar Bunda tertutup rapat. Dengan ragu, aku menekan handle pintu dan sedikit mendorongnya, takut-takut mengagetkan Bunda.

Kaget. Itu satu kata yang mungkin dapat mewakili ekspresiku saat melihat Bunda. Bunda terduduk di pinggir kasurnya, menatapi sebuah figura kayu yang terdapat beberapa ukiran  di bingkainya. Walaupun sudah tua, figura itu masih terlihat sangat terawat oleh tangan Bunda. Walaupun foto di dalamnya tidak terlihat dari posisiku berdiri sekarang, tapi aku tau pasti foto itu. Itu adalah foto aku, Vera, Bunda, dan Ayah saat kami masih duduk di bangku sekolah dasar.

Bunda mengelus lembut isi figura yang memampang foto orang-orang yang dicintainya. Sesekali terlihat air mata terjatuh dari mata beningnya. Walaupun Bunda hanya memiliki satu buah mata, tapi mata itu terlihat begitu indah dan cantik.

“Yah, sekarang anak-anak kita sudah mulai dewasa. Mereka telah tumbuh menjadi anak-anak yang cantik. Dan kalau Ayah masih ada, Ayah pasti akan bangga pada mereka. Vira dan Vera adalah harta karun yang paling berharga buat Bunda, Bunda sangat bersyukur karena Allah telah menitipkan mereka pada kita. Bunda janji, sampai akhir umur Bunda nanti, Bunda akan terus berusaha menjadi orang tua yang baik buat mereka.”

Air mataku menetes kala itu, aku merasakan apa yang dirasakan Bunda. Pasti sangat berat baginya untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Walaupun hidup kami sekarang bisa dikatakan lebih dari cukup, tapi ini semua adalah kerja keras Bunda. Dan aku sangat mencintai Bunda, Bunda yang selalu memberi yang terbaik untuk kami berdua.

Aku mengurungkan niat untuk menyapa Bunda, dan perlahan kembali menarik handle pintu agar tertutup. Aku berjalan kembali menuju kamar, aku terduduk di pinggir tempat tidur. Dalam benakku terbayang wajah Bunda, kenapa semuanya begini? Kenapa semuanya berubah?

Aku memutuskan untuk berbaring dan memejamkan mataku, sebuah bayangan kini mengisi otak ku. Aku melihat dua orang anak kecil disana. Memang tidak terlihat jelas, tapi aku yakin mereka sedang bersenang-senang dengan sesosok orang dewasa yang nampak seperti Ibunya. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak, dan setibanya di jalan besar. Salah seorang anak tadi menyeberangi jalan raya, dan....

“Aaa!” aku berusaha kembali mengatur nafasku.
“Astagfirullah, aku memimpikan hal itu lagi.”

Ternyata sudah pagi, dan Vera pun masih tertidur lelap di ranjangnya.  Aku hendak turun dari kasur ketika aku merasakan pening di kepalaku. Aku memegang kening dengan punggung tanganku, jujur, kurasa suhunya cukup tinggi.

Aku tetap memaksakan langkah menuju tempat tidur Vera dan membangunkannya. Vera terbangun, dan aku membiarkannya menggunakan kamar mandi terlebih dahulu. Aku terduduk di pinggir kasurnya, rasa pening itu terasa kian menghantuiku.

“Udah tuh, cepet mandi gih, biar gak telat,” ucap Vera sekeluarnya dari kamar mandi. Aku mengangguk.
“Lo sakit?” tanyanya, kini Vera telah berada di sampingku. Dia memeriksa suhu tubuhku dengan punggung tangannya.
“Astagfirullah, Vir, lo panas banget! Mending gak usah masuk deh, entar gue yang izinin.”

Seketika Vera langsung menidurkanku di kasurnya. Pelahan kumulai pejamkan mata yang kian lama terasa kian berat.

Beberapa jam kemudian aku mulai terbangun dari istirahatku yang terasa sangat panjang. Kurasakan sebuah kain handuk halus berada dikeningku, dingin. Aku masih berada di ranjang Vera, kulihat ada semangkuk air di meja rias samping ranjangnya. Pasti air itu yang digunakan untuk menurunkan suhu tubuhku beberapa jam terakhir ini.

Perlahan aku bangkit, menaruh kain handuk yang membalut keningku ke mangkuk berisi air itu, lalu keluar kamar untuk menemui Bunda. Aku merasa suhu tubuhku tidak sepanas tadi pagi.

Pintu kamar bunda terbuka lebar, sepertinya Bunda sedang tidak berada dikamarnya. Mungkin sedang di kamar mandi atau entah kemana. Kuliat sebuah album terbuka lebar di atas kasurnya, aku tertarik lalu mendekatinya. Dari halaman album yang terbuka itu aku melihat 2 bayi berukuran satu halaman penuh, satu di halaman kiri, dan yang satu lagi di halaman kanannya. Aku yakin kalau itu adalah aku dan Vera.

Aku terus membalik halaman demi halaman album itu. Banyak sekali ekspresi yang kami tunjukkan pada setiap foto. Sampai pada halaman terakhir, aku melihat sebuah foto yang mengisi satu halaman penuh album itu. Itu adalah foto aku, Vera, Ayah, dan Bunda. Ada yang aneh, kulihat lekat-lekat wajah Bunda pada foto itu. Wajahnya terlihat sangat cantik, dan beliau memiliki sepasang mata. Sempat terbesit di benakku bahwa itu bukan Bunda, tapi itu memang Bunda. Aku tidak mungkin salah mengenalinya.

“Vira...”

Suara Bunda sedikit mengagetkanku. Aku berbalik melihat Bunda yang baru saja masuk, Bunda terlihat kaget melihatku memegang album ini.

“Kamu...”
“Bunda, foto ini....” aku menunjuk wajah Bunda pada foto itu. Bunda perlahan duduk di sampingku.
“Bun, aku sama sekali tidak mengingat masa kecilku, dan maaf, Bun, aku juga tidak mengingat hal ini,”
“Itu wajar sayang, waktu itu kau masih sangat kecil,” ujar Bunda sambil membelai lembut rambutku.
“Bunda pernah mengalami sebuah kecelakaan, dan kecelakaan itu membuat Bunda harus kehilangan salah satu mata Bunda. Tapi Bunda tetap bersyukur, karena Allah masih mengizinkan Bunda untuk terus bersama kalian,” jelas Bunda sambil terus memasang senyum di wajahnya.

Aku terkejut. Apakah ini ada hubungannya dengan mimpiku akhir-akhir ini. Kecelakaan. Tapi, anak itu yang mengalami kecelakaan, bukan Bunda. Lalu, apa hubungannya dengan Bunda? Tanyaku dalam hati.

“Kenapa, sayang?” tanya Bunda menyadarkanku.
“Tidak, Bun, hanya saja... akhir-akhir ini aku sering mengalami mimpi buruk,”
“Mimpi? Mimpi apa?”

Aku menceritakan mimpi yang selama ini sering menghampiriku, mimpi yang terasa begitu nyata. Kulihat perlahan-lahan raut wajah Bunda berubah. Entah apa yang membuatnya seperti ini. Di akhir ceritaku, yang beliau lakukan hanya tersenyum dan memeluk hangat tubuhku.

“Itu hanya mimpi sayang, tidak usah kamu fikirkan ya.”
“Tapi mimpi itu terasa begitu nyata, Bun. Apa ada sesuatu yang Bunda tutupi dariku?”
“Hah? Tidak sayang, tidak. Percayalah.”
“Tapi,”
“Sudahlah, lebih baik kamu istirahat ya, supaya besok bisa masuk sekolah lagi.”

Aku mengangguk.

BRAAAK!!! Tiba-tiba terdengar suara pintu terbanting. Aku melihat jam dinding, ini sudah waktunya pulang sekolah. Apa itu Vera?

Aku dan Bunda keluar kamar, menghampiri Vera yang berjalan ke ruang tengah.

“Assalamu’alaikum,” ucap Bunda melihat anak sulungnya itu datang.
“Wa’alaikum salam,” jawabnya terdengar kasar. Hei, tunggu. Ada yang salah di sini. Bukan Bunda yang seharusnya memberi salam, tetapi Vera!
“Sudah pulang sayang...” Bunda menghampirinya, lalu melayangkan sentuhan lembut miliknya di kepala Vera. Vera menepisnya.
“Vera!” bentakku agak tertahan.
“Udah ya, Bun. Bunda gak usah bersikap kayak gini lagi ke aku!”

Aku melihat raut wajah Bunda, wajah itu terlihat sangat tersakiti.

“Heh, lo kenapa sih, Ver? Pulang-pulang langsung marah-marah kayak gini. Emang salah Bunda apa sama lo?”
“Salah Bunda? Lo mau tau salah dia apa? Dia cuma punya satu mata, Vir! Sa-tu!” ucap Vera masih dengan nada tinggi sambil menunjuk Bunda menggunakan jari telunjuknya.

Saat itu aku benar-benar kaget, bagaimana bisa dia berbicara dan bersikap seperti itu ke Bunda. Aku melihat Bunda, bibirnya masih tetap menorehkan senyum. Tapi matanya tidak berkata demikian.

“Astagfirullah, Ver, lo ngomong apa, sih? Lo harusnya sadar, Ver! Kita lahir dari rahim Bunda! Bunda yang lo bilang gak sempurna ini! Tapi lo harus sadar, ketidaksempurnaan Bunda itulah yang menjadikan kita gadis yang sempurna seperti ini!” aku tidak bisa membendung air mataku lagi, air mata itu kini mengalir begitu saja seiring dengan kata-kata yang keluar dari mulutku.

Keheningan seketika tercipta di ruangan ini. Kini hanya tinggal isak tangisku saja yang terdengar mengisi keheningannya. Kulihat Vera menunduk. Aku tak tau untuk apa, mungkin ia mencoba untuk mencerna kata-kataku.

“Gue capek, Vir, gue capek,” ucapnya dengan suara yang melemah. “Gue capek harus dicemooh terus sama mereka! Gue capek ngedenger kata-kata itu dari mereka! Kata-kata itu selalu menghantui gue! Dan gue ngerasa itu adalah kesalahan terbesar yang pernah gue miliki!” lanjutnya dengan suara yang semakin meninggi, lalu ia berlari keluar rumah. Bunda mengejar Vera. Aku masih tertegun dengan semua kata-kata Vera. Beberapa saat kemudian aku mulai mengejar Bunda dan Vera.

Sepertinya aku kehilangan jejak mereka, aku tidak melihat mereka lagi sekarang. Tapi kaki ku serasa membawaku ke sini, ke sebuah taman mungil yang berada di tengah kota. Dari kejauhan aku melihat sosok Bunda dan Vera. Vera duduk di bungku taman menghadap arah matahari terbenam. Perlahan Bunda menghampirinya, masih kulihat wajah Vera yang berlinangan air mata, dan Bunda? Bunda masih terus tersenyum duduk di sampingnya.

Aku pun mulai mendekati mereka. Aku bisa mendengar percakapan mereka dari tempat aku berdiri sekarang.

“Apa itu?” tanya Bunda menunjuk pada sekelompok burung yang terbang di langit yang mulai menguning. Vera tidak memperdulikannya.
“Apa itu?” tanyanya lagi.

Aku melihat burung itu, melihat sekelilingku, sepertinya aku tidak asing dengan tempat ini. Dan kejadian antara Bunda dan Vera pun rasanya seperti pernah ku alami. Tiba-tiba satu demi satu bayangan di kepala ku mulai terkumpul dan terlihat semakin jelas. Mimpi itu! Ya, mimpi itu! Ternyata orang yang ada di mimpi itu adalah aku, Vera, dan Bunda. Mimpi itu adalah bagian dari masa kecilku. Masa kecil yang selama ini tidak pernah kuingat sebelumnya.
            
mata Bunda, tapi.... Astagfirullah, itu mata Vera! Vera yang mengalami kecelakaan itu! Vera harus kehilangan salah satu matanya, dan Bunda... Bunda yang mendonorkan satu matanya itu untuk Vera! Ya, Allah, kenapa aku bisa melupakan semua itu?

Air mata terus mengalir di pipiku, perlahan... aku melangkah gontai ke arah Vera dan Bunda. Aku berlutut di hadapan Vera. Vera terkejut melihatku. Aku mengusap lembut pipi kirinya dengan tangan kiriku. Aku menatap lekat mata yang kini berada tepat di atas tanganku.

“Apa kau tidak mengingatnya?” tanyaku memecah kesunyian. Vera masih terlihat bingung.
“Mata ini, taman ini, kecelakaan itu, apa kau tidak mengingat semuanya?” lanjutku.
Vera terlihat sedikit tersentak. Aku yakin dia mulai mengingat sesuatu, wajahnya mulai melunak. Dia menatapku, tapi aku tau pikirannya tidaklah berada di situ. Sesaat kemudian, kedua bola matanya membesar. Seakan ia sadar telah melakukan suatu kesalahan yang besar.

Aku bangkit, menundukkan kepalaku dalam-dalam. Vera menatap Bunda, entah apa yang ia fikirkan.

“Itu karna aku?” tanyanya kepada Bunda dengan nada yang hampir tidak terdengar. Kami semua tau apa maksud pertanyaannya itu.
“Ini hanya sebuah kecelakaan, sayang,” jawab Bunda masih terus menorehkan senyum pada bibirnya.
“Mata ini...” Vera menunjuk mata kirinya, “Milik Bunda,” lanjutnya.

Hening.

“Bun, aku,”

Belum selesai Vera menyelesaikan kata-katanya, Bunda sudah terlebih dahulu menariknya ke dalam pelukannya.

“Maafkan aku, Bun, maaf,” ucapnya berulang kali sambil terisak di tengah tangisnya yang kian menjadi. 

Demikian juga dengan air mataku.

“Sudahlah, ini semua bukan salah siapa-siapa. Ini sudah takdir dari Allah. Ini takdir kita semua yang sudah Allah rencanakan. Inilah yang terbaik untuk kita semua.”
“Tapi, aku,” sela Vera masih di tengah isakannya.
“Sudahlah, Vera,” ucap Bunda lembut sambil mengelus rambutnya.

Vera membalas pelukan Bunda, tangisnya terdengar semakin kencang.

Bunda menatapku, ia merenggangkan tangan kanannya. Aku langsung menghampiri dan memeluknya. Sore itu telah mengubah semuanya. Vera sudah bisa menerima keadaan Bunda, bahkan kini ia lebih bersabar menghadapi setiap cemoohan itu.

Aku sangat bersyukur kepada Allah swt. karena Beliau memberikanku keluarga yang sangat menyayangi dan memberiku kenyaman. Bagaimanapun juga, Bunda adalah anugerah terindah yang pernah Allah berikan kepadaku, Subhanallah....


Chytra Oktaviany

No comments:

Post a Comment